Thursday, November 24, 2011

A Courage of "Ibu Bangsa" like a Founding Mothers...

Bismillahirohmanirrohiim
In the name of Allah...Semoga tulisan ini bermanfaat...amiinn

Hari ini bertepatan dengan hari guru nasional, sebelumnya saya ucapkan selamat hari guru bagi semua guru-guru indonesia, kita akan sama-sama berjuang untuk melahirkan karya-karya terbaik demi perubahan....amiiinnn


Satu hari yang lalu saya baru saja mengikuti seminar bersama Dr Hc Anni Iwasaki, Presiden Pusat Studi Jepang Untuk Kemajuan Indonesia, presentasi beliau mengenai bagaimana kehidupan di Jepang, dengan segala kemajuan dan pendidikannya. Jepang ternyata menduduki posisi ke-tiga sedunia dalam  kesejahteraan keluarganya. Bila dibandingkan dengan Indonesia pasti akan jauh sekali. Apa yang membuat Jepang bisa semaju itu? Banyak sekali hal penting yang saya tangkap dari pembahasan beliau, pertama Ibu adalah pendidik manusia yang pertama. Yup nampaknya kalimat ini begitu terserap dalam setiap hati dan kepala orang Jepang, hingga semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahnya adalah semata-mata untuk memfasilitasi kebutuhan Ibu dan anak, serta kesejahteraan masyarakat Jepang.

Sebenarnya isu tentang hal ini, bukanlah suatu isu yang baru di negara kita, namun sudah sejak lama sekali, bahkan dalam UUD 1945 pasal 28b ayat 2, dinyatakan bahwa "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi". Seharusnya kalimat ini bisa menjadi pendorong bagi pemerintah dan masyarakat untuk benar-benar mewujudkan perkembangan yang baik bagi anak-anak Indonesia.
Peranan ibu sebagai seorang pendidik dalam keluarga, juga tertuang dalam buku yang dikeluarkan oleh Bappenas yang bekerja sama dengan Unicef tentang Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif PEDOMAN UMUM Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), tahun 2009, yang menyatakan "Bagi anak-anak yang masih berusia dini, Ibu adalah pendidik utama dan pertama dalam keluarga". (Hal 15, paragraf 1 baris ke 3).

Namun sayangnya, kalimat ini hanyalah sebuah kata dan ungkapan yang belum bisa diimplementasikan sepenuhnya di negara kita, padahal peranan ibu itu luar biasa sekali. Ibu-ibu di negara kita bukan lagi menjadi "Mother Bangsa" tapi mereka adalah "pendamping suami" yang juga harus ikut mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Saat seorang ibu melahirkan seorang anak, maka sejak saat itulah seharusnya tanggung jawab sepenuhnya untuk mengurus dan mendidik anaknya seoptimal mungkin.

Ibu Anni yang sejak tahun 1972 tinggal di Jepang, menceritakan bahwa di sana, seorang ibu yang baru saja melahirkan,  langsung keluar dari pekerjaannya, biarpun asalnya ia adalah seorang wanita karir yang sukses. Dari data yang diperoleh pada tahun 2005, sekitar 88,5% ibu muda Jepang mengundurkan diri dari tempat bekerja setelah kelahiran anak pertama dan pada usia 40-45 tahun para ibu Jepang mulai kembali ke lapangan kerja (Kementerian Kesehatan, Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan Jepang thn 2005/Facts and Figures of Japan 2008 by Foreign Press Centre Japan dalam Handout Kuliah Umum UPI, Anni Iwasaki, 2011). Lalu siapa yang mengisi kekosongan pekerjaan mereka? para mahasiswa dan mahasiswi Jepanglah yang akan mengisi tugas pekerjannya sebagai kerja "part time" selama para ibu muda tersebut mengurus dan mendidik anak-anaknya agar karakter seorang anak dapat terbentuk sejak dini. (Jadi ga ada namanya pengangguran kali ya kalau di Jepang, sama rata, sama adil, hehehe).

Pemerintah Jepang rupanya menginginkan agar ibu-ibu ini berhenti dulu dari ruang publik untuk mengurus anaknya hingga anaknya benar-benar bisa ditinggal, dan pada umumnya mereka mundur dari pekerjaannya hingga anak mereka menginjak usia remaja (SMP/SMA). Mengapa bisa seperti itu, karena meskipun ibu-ibu ini tidak bekerja lagi, tingkat kesejahteraannya tidak terganggu. Di sana para suami yang baru memiliki anak akan difasilitasi lebih oleh pemerintah, mungkin dari segi gaji atau tunjangan, bahkan bagi para pasangan muda di Jepang yang baru menikah disediakan rumah yang memadai agar mereka dapat hidup dalam kesejahteraan sehingga anak-anaknya pun dapat dididik dengan baik.Selain itu para ayah Jepang mendapatkan prioritas untuk menduduki lapangan kerja yang tetap dan memiliki kebebasan berkompetisi dengan bapak-bapak lain dari negara maju. Jadi di sini bapak-bapaklah yang bersaing, hingga Jepang dalam World Economic Forum Global Competitiveness 2010-2011 di Jenewa, tetap berada di peringkat satu atas inovasi dan faktor kecanggihan (sophisticated) saintek dan industri. Oleh karena itu, di sana hanya para pria yang bekerja untuk life long worker, bukan wanitanya. Kesetaraan Gender yang dimaksud oleh Jepang berbeda dengan kesetaraan Gender di negara kita. Di saat negara kita berkoar-koar untuk meningkatkan harkat dan derajat wanita di ruang publik agar sama-sama dapat bekerja seperti para pria, berangkat pagi pulang malam, dan rapat hingga subuh, karena posisi seperti inilah yang dianggap "tinggi" dan "prestise" oleh kaum wanita Indonesia saat ini, di Jepang wanita-wanitanya malah mundur saat melahirkan anak pertamanya, dan mereka mau melakukan hal itu untuk bisa mendidik anaknya dan kesejahteraan mereka tidak terusik, meskipun tidak bekerja lagi. Apresiasi kesetaraan gender PBB untuk negara Jepang termasuk rendah, mengapa? hal ini dikarenakan para wanita Jepang berfungsi sebagai "mother of country" atau "ibu bangsa" yang memegang peranan terpenting dalam pembangunan karakter bangsa sejak dini (Anni Iwasaki, 2011). Usia Golden age (Usia keemasan) pada anak di Jepang disebut "mitsu no tamashi", dimana usia tiga tahun pertama adalah masa yang paling penting dalam perkembangan otak bayi, disitulah peran penting orang tua muda sebagai generasi yang akan mempimpin generasi anak-anaknya (Anni Iwasaki, 2011). Hal ini bertolakbelakang dengan kondisi di negara kita, berapa banyak wanita yang tetap bekerja saat memiliki anak pertama? karena jika ia tidak bekerja, kehidupan perekonomian keluarga tidak akan berjalan dan mereka tidak bisa membahagiakan anak-anaknya, oleh sebab itu, wanita indonesa saat ini bukanlah "mother bangsa" tapi sebatas "pendamping suami" saja.

Keseriusan negara Jepang untuk mendidik anak-anaknya, hingga di sana tidak dikenal penitipan anak, pembantu atau baby sister ketika seorang wanita bekerja, karena bagi mereka anak itu harus diasuh oleh ibunya sendiri, bahkan seseorang tidak bisa secara sembarangan mengendong bayi orang lain tanpa sepertujuan dari orangtua si bayi. Mereka sangat menjaga sekali kondisi anak-anak mereka, dan mendidiknya dengan pemahaman yang matang tentang perkembangan anak. Kalaupun ada tempat penitipan anak, di Jepang itu hanya untuk dua alasan, yang pertama si ibu menderita penyakit schizophrenia (kepribadian ganda), atau si ibu memiliki penyakit menular.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2011, ditemukan merosot tajam ke urutan 124 dari 187 negara, dibandingkan tahun lalu yang menempati posisi 108 dari 169 negara (Seputar Indonesia Online). Tingginya kuantitas pertumbuhan penduduk, akan berdampak pada Indeks Pembangunan Manusia suatu negara. Merosotnya IPM Indonesia ini disebabkan oleh grafik pendidikan di Indonesia yang tidak meningkat, dimana pertumbuhan penduduk tidak dibarengi dengan kualitas sumber daya manusianya itu sendiri. Semuanya akan kembali kepada pendidikan, dan siapa pemegang kunci yang dapat mendidik anak-anak indonesia sebaik mungkin, kalau bukan peran seorang Ibu. Bahkan Rosululloh SAW pernah bersabda :
 "wanita adalah tiang agama, jika wanita rusak maka rusak pulalah negara".
Bahkan pedoman universal tentang peran "ibu bangsa" yang mungkin baru dikenal beberapa tahun lalu oleh dunia, sudah pernah diucapkan oleh guru besar kita Muhammad SAW, berabad-abad sebelumnya, bahwa:
"ummu madrosatul awlad: wanita/ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anak".
 Siapa yang tidak akan merenung dan sekaligus memikirkan tentang begitu pentingnya peran ibu saat harus mendidik anak-anaknya, disaat kondisi yang terjadi di masyarakat kita saat ini jauh sekali dari pedoman itu, bahkan nilai-nilai universal tentang "ibu bangsa" yang pernah ditulis oleh Bappenas pun hanya menjadi pajangan semata. Indonesia sebagai penduduk muslim terbesar di dunia, yang seharusnya nilai-nilai islam terpatri dalam kehidupan masyarakatnya, masih kalah jauh dibandingkan negara-negara seperti Jepang yang mungkin kepercayaan kepada Tuhannya pun tidak sekhusyu bangsa kita.

Perkembangan perumahan di negara Jepang pun sangat pesat, mereka  menyediakan berbagai fasilitas perumahan bagi pasangan muda, dengan harga yang tidak terlalu mahal, mungkin 8 tahun cicilan sudah bisa dijangkau bagi mereka semua, bahkan rumah bagi mereka yang baru memiki anak akan berbeda dengan rumah yang anak-anaknya sudah cukup besar. Sirkulasi seperti ini adalah hal yang biasa terjadi di negara Jepang. Bayangkan di negara kita, saat sepasang suami isteri yang baru menikah ingin memiliki rumah, dengan harga yang sangat melambung tinggi, sulit bagi mereka dengan kondisi gaji yang tidak mencukupi untuk memiliki rumah sederhana sekalipun, belum lagi cicilan rata-rata selama 20 tahun. Padahal tanpa rumah, pendidikan pertama dalam kehidupan manusia tidak akan berjalan. Hal ini juga tertulis dalam UU No 1 tahun 1974 pasal 32 ayat (1) suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, ayat (2) Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pada pasal ini ditentukan oleh suami-isteri bersama.
Jika memang UU telah menuliskan hal tersebut, bahwa pasangan suami isteri harus memiliki rumah, maka sebaiknya pemerintah juga membantu memfasilitasi pasangan muda agar mereka dapat memiliki rumah yang sesuai dengan jangkauan ekonominya.

Beberapa Negara maju, seperti Jepang dan Amerika sudah mulai memantapkan langkahnya untuk lebih fokus terhadap ibu sebagai pendidik utama bagi anak-anak. Sesungguhnya hal ini juga yang dicita-citakan oleh para Founding Mother's Indonesia, seperti Nyi Ageng Serang, Cut Nyak Dien, Martha Kristina Tiahahu, Cut Meutia, Nyi Ahmad Dahlan, RA Kartini, Raden Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis, dan H Rasuna Said. Apakah cita-cita mereka untuk membangun wanita saat ini sudah sesuai dengan harapannya? Maria Walanda mengungkapkan "wanita adalah tiang rumah tangga dan di tangan mereka pulalah tergantung masa depan anak-anak". Hampir semua founding mothers diatas, menginginkan adanya pendidikan bagi wanita agar mereka bisa mengetahui bagaimana caranya mendidik anak yang benar,  bagaimana cara mengatur rumah tangga yang baik, karena mereka semua mengerti bahwa ibu adalah pendidik manusia yang pertama. Pemahaman kesetaraan  gender yang kita pahami saat ini mungkin keliru. Sebenarya Ibu kartini menangis melihat wanita-wanita saat ini yang lebih mementingkan karirnya dan menelantarkan kehidupan putra-putrinya. Temuan yang sangat menarik, ketika permasalahan tentang gender ini terus bergejolak, di Jepang ternyata ada perguruan tinggi wanita yang disebut dengan tan dai/junior dan joshii dai/sarjana penuh, yang mengajarkan tentang ilmu-ilmu pengetahuan tentang keluarga, teknologi dan industri rumah tangga atau biasa disebut sebagai sains-domestik, dan jumlah perguruan tinggi tersebut ada 172. Indonesia dulu pernah memiliki sekolah-sekolah seperti itu, yang diprakarsai oleh para founding mothers, seperti 'sekolah keutamaan isteri", sekolah Thawalib, yang mendidik wanita indonesia untuk memiliki keterampilan sebagai ibu pendidik atau ibu bangsa, namun sayangnya sekolah tersebut dibubarkan di awal pemerintahan orde baru dan berlanjut kepada perguruan tinggi seperti sekarang.

Lalu apakah di Jepang para wanitanya tidak sekolah? tentu saja mereka sekolah, meskipun dari segi karier wanita Jepang tidak seperti di negara kita, namun mereka tetap berpendidikan. Sebesar 97,7% pria dan wanita di Jepang lulus SMU dan 52,5% wanita yang lulus perguruan tinggi, sedangkan pria sebesar 54,9 %. Kreatifitas dan Inovasi para pemuda Jepang saling mengisi, dimana para wanita yang bergerak di bidang saintek dan industri domestik, dan para pria bergerak dalam bidang saintek dan industri publik, hal ini terus berlanjut hingga mereka menjadi kakek-nenek. So, inilah kesetaraan gender yang sesungguhnya.

Intinya, keharmonisan rumah tangga yang seperti inilah yang menjadi cita-cita berbagai negara saat ini. Bahkan hal ini dituliskan dalam paragraf pertama dalam Preamble Universal Declaration of Human Right UNO, 1948:
"Whereas recognition of the inherent dignity and of the equal and inalienable rights of all members of the human family is the foundation of freedom, justice and peace in the world".
yang artinya "menimbang bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia". 
Martabat alamiah manusia untuk membentuk sebuah keluarga yang nyaman dan sejahtera merupakan arti dari kebebasan dan kemerdekaan yang sesungguhnya, inilah yang dimaksudkan oleh ajaran Islam dengan membentuk keluarga yang sakinah (ketenangan), mawadah (penuh cinta kasih), dan warrohmah (penuh kasih sayang). Seorang anak berhak untuk mendapatkan pendidikan, kasih sayang dan cinta yang utuh dan penuh dari kedua orang tuanya, terutama Ibu. Jika ibu-ibu Indonesia masih banyak yang harus meninggalkan rumahnya dan anaknya demi membantu suami mencari nafkah, maka apa yang akan terjadi dengan generasi anak-anak kita kedepan. Hal ini merupakan masalah yang kompleks dan kita tidak bisa menyalahkan pada satu pihak saja. Mungkin kita harus lebih aware, bahwa tanggung jawab seorang laki-laki saat ia menjadi seorang ayah, harus didukung sepenuhnya oleh pemimpin kita, seperti di Jepang, yang memberikan fasilitas terbaik dan lebih bagi pasangan muda, sehingga meskipun wanitanya tidak bekerja saat mengurus anak-anaknya, hal itu tidak menjadi masalah, karena tidak mengganggu kesejahteraan mereka. Lihatlah di kita, berapa banyak ayah yang menganggur, dan malah ibunya yang bekerja, padahal seorang ibu lebih bertanggung jawab untuk mengurus anak-anaknya, akhirnya anak-anak mereka pun kekurangan kasih sayang. Sudah berapa banyak kasus perceraian yang terjadi akibat permasalahan ekonomi, menurut saya hal seperti ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Apa yang dilakukan Jepang dengan segala kebijakannya, sebenarnya itulah yang sebaiknya dilakukan oleh seorang manusia yang memiliki tugas sebagai khalifah di muka bumi ini.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”.” (QS Al Baqarah : 30)

Khalifah adalah pemimpin, dan sudah sepatutnya sebagai pemimpin untuk berpikir lebih bijak serta holistik dalam menghadapi permasalahan kehidupan. Salah satu pernyataan yang diungkapkan oleh Bu Anni yang membuat saya "aware" adalah, bahwa sesungguhnya jabatan yang terpenting yang harus dicapai dalam kehidupan manusia bukan sebatas jabatan publik, tapi jabatan kehidupan, yaitu ketika semua orang menyadari apa artinya menjadi seorang ayah, seorang ibu, seorang paman, seorang bibi, keponakan, sepupu, adik dan kakak, yang tidak saling membebani satu sama lain, itulah fungsi kehidupan yang sebenarnya.

Penulis menyimpulkan, bahwa sebagai wanita, berpendidikan itu perlu, dan pendidikan utama bagi seorang wanita adalah ketika ia memahami betul-betul apa kodratnya, ia tau bagaimana caranya mendidik anak yang baik, mengurus rumah tangga dan sebagainya. Bukan juga berarti wanita tidak berhak untuk menguasai ilmu lain, tentu saja boleh, karena menurut saya pribadi seorang ibu itu harus cerdas, dan banyak wawasan, karena ia akan banyak melakukan explain kepada anak-anaknya, memberikan informasi yang tepat dan teladan yang baik. Hanya saja, yang perlu kita pertimbangkan lebih lanjut adalah, bagaimana kita bisa memposisikan wanita, sesuai kodratnya, terutama ketika ia memiliki seorang anak. Menurut saya kurang tepat jika wanita terus di giring ke wilayah publik pada saat ia memiliki tanggung jawab yang lebih untuk mendidik anak-anaknya. Seperti yang dilakukan oleh negara Jepang, saat wanita memiliki anak pertama, maka ia mundur dulu dari wilayah publik, dan nanti saat anaknya sudah memiliki landasan kehidupan yang baik, baru sang ibu kembali lagi ke wilayah publik, namun bukan berarti seorang ibu hanya diam dirumah tidak mengerjakan apa-apa, tetap ia harus melakukan usaha produktif, yaitu melakukan kegiatan-kegiatan saintek dan industri domestik atau mungkin meneruskan pendidikannya, mengajar, sambil juga mendidik anak-anaknya. Tapi sekali lagi, hal ini terasa sulit untuk diimplementasikan di negara kita yang kondisi perekonomiannya tidak mendukung dan sistem kemasyarakatan kita yang begitu kompleks luar biasa. This is our problem and big homeworks for all of us.

Notes: * Ibu Anni Iwasaki ini memiliki courage yang sangat luar biasa dalam berjuang membangun pendidikan dan pengajaran memanusiakan bangsa Indonesia berdasarkan cita-cita para founding mothers, dan usaha beliau dengan terus menerus melakukan seminar dan menyampaikan pemikiran yang sangat luar biasa ini kepada seluruh masyarakat Indonesia agar kita tau betapa pentingnya peran ibu dalam pendidikan, mungkin jika ingin merubah kehidupan generasi yang akan datang, dari sinilah awalnya. Ibu Anni juga sudah menyampaikan proposal programnya ini atas nama Pusjuki (Pusat Studi Jepang Untuk Kemajuan Indonesia), kepada Presiden Republik Indonesia, dan hanya tinggal menunggu persetujuan presiden, tentunya dengan dukungan dari segala pihak, baik itu para praktisi pendidikan hingga politik, target beliau program ini bisa dicapai pada tahun 2014 nanti. Yang ingin mengetahui tentang kegiatan Pusjuki, bisa langsung search di google tentang Pusjuki dan jika ingin langsung contack dengan beliau ini adalah alamat twiternya @anni_iwasaki.
Saya akan mendukung programnya bu, terus maju demi kebaikan kehidupan bangsa Indonesia di masa mendatang, saya yakin Indonesia pasti bisa seperti jepang dalam waktu 15 tahun, jika kita mau merubah konsep dan sudut pandang kita sendiri mengenai arti pendidikan yang sesungguhnya. I know it's hard, but it's not immposible, right..? ^^
Semoga saya dan anda semua bisa menjadi ibu bangsa yang diharapkan kelak oleh anak-anak kita di masa depan, bukan hanya sebagai "ibu publik" yang menghidupkan kehidupan anak-anak, tapi juga menjadi seorang wanita yang menjadi tiang dalam agamanya.... aammiiin...

Jya, Owatte...

Wallahu alam bissawab
With Luv..

Ghie...

No comments:

Post a Comment